Centre for Asian Social Science Research (CASSR), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung kembali menyelenggarakan Forum Dosen FISIP yang kali ini memasuki seri ke-27 pada Rabu, 30/4/2025, di Aula FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Forum kali ini mengusung tema “Mekanisme Akses dan Strategi Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Ekowisata Bahari di Raja Ampat” dan dihadiri oleh dosen danmahasiswa FISIP.
Kegiatan ini bertujuan membahas berbagai tantangan dan peluang dalam pengelolaan ekowisata di Raja Ampat, yang dikenal luas dengan keindahan alam bawah lautnya. Namun, di balik pesona tersebut, wilayah ini menghadapi sejumlah persoalan tata kelola, khususnya terkait ketimpangan akses terhadap sumber daya wisata di antara berbagai pemangku kepentingan. Ketidakmerataan ini, yang melibatkan masyarakat lokal, pelaku wisata, dan pihak swasta, berpotensi memicu konflik dan menghambat pengelolaan yang efektif.
Dalam paparannya, Dr. Nuraini selaku narasumber menjelaskan bahwa pengelolaan ekowisata di Raja Ampat masih didominasi oleh ketimpangan akses antara masyarakat lokal, pemerintah, dan pelaku usaha swasta. “Ada praktik-praktik akses yang tidak adil; masyarakat lokal sering kalah bersaing dengan investor luar,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti praktik pelanggaran aturan oleh investor asing yang membuka usaha di kawasan wisata melalui skema kerja sama dengan masyarakat lokal. “Mereka menyewa lahan atas nama masyarakat, namun operasional sepenuhnya tetap dikelola oleh pihak asing,” jelasnya. Selain itu, Dr. Nuraini menyoroti kesenjangan fasilitas dan teknologi, seperti pusat penyelaman (dive center) milik asing yang telah berstandar internasional, sementara masyarakat lokal hanya memiliki peralatan sederhana.
Penelitian yang dilakukan Dr. Nuraini memfokuskan kajian pada aktor-aktor kepentingan, mekanisme akses berbasis tradisional, efektivitas program pengelolaan ekowisata, serta strategi penguatan kelembagaan. “Kita memerlukan strategi kelembagaan agar akses bisa lebih merata dan masyarakat memperoleh manfaat langsung,” tuturnya. Ia menemukan bahwa aktor-aktor berpengaruh dalam pengambilan keputusan meliputi pemerintah pusat, dinas pariwisata, UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah), dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Sementara itu, masyarakat lokal memiliki kepentingan tinggi terhadap sumber daya alam, namun pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan masih sangat minim. “Cukup memprihatinkan, masyarakat hanya menjadi penonton, padahal mereka yang paling bergantung pada sumber daya tersebut,” tambahnya. Kesenjangan ini juga terlihat dalam pengelolaan homestay yang dibangun secara mandiri oleh masyarakat dengan fasilitas yang terbatas.
Sebagai penutup, Dr. Nuraini menegaskan pentingnya penyusunan strategi kelembagaan yang kuat untuk menciptakan tata kelola ekowisata yang adil dan berkelanjutan. “Strategi kelembagaan yang tepat akan membuka akses yang lebih setara serta menjamin pengelolaan yang berkelanjutan dan bermanfaat nyata bagi masyarakat lokal,” pungkasnya.
Penulis: Natasya Ekaputri Sadina
Editor: Asep Iqbal